Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BANGKO
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2021/PN Bko Aini Saprina Kapolri Cq Kapolda Jambi Cq Resor Merangin Cq Kepala Satuan Reserse Kriminalitas Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 19 Nov. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penahanan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2021/PN Bko
Tanggal Surat Jumat, 19 Nov. 2021
Nomor Surat Nomor: 28/SK/PDT/IX/2021
Pemohon
NoNama
1Aini Saprina
Termohon
NoNama
1Kapolri Cq Kapolda Jambi Cq Resor Merangin Cq Kepala Satuan Reserse Kriminalitas
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

  • Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan merujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/ terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (video Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

  • Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  • Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  • Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  • Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
  • Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  • sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  • ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
  • Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian maka dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
  • Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
    • Putusan Pengadilan Negeri Bangkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
    • Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
    • Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
    • Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
    • Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
    • Dan lain sebagainya
  • Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

  • Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  • Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN 

A. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

  • Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan tindak Pidana pengelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHPidana Jo Pasal 374 KUHPidana

Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.

 

  • Bahwa yang menjadi dasar laporan dari Pemohon adalah LPT pengurus Pondok Pesantren Al-Munawwaroh Tahun 2020 menurut Hukum tidak sah karna LPT pengurus Pondok Pesantren Al-Munawwaroh tersebut dibuat berdasarkan Surat yang disampaikan oleh Yayasan Lailo Beruji kepada Pimpinan atau Mudir Pondok Pesantren Pada tanggal 17 Desember 2020 sedangkan Perintah untuk membuat LPT yang telah berlalu dengan alasan untuk contoh Kedepanya (Surat Laporan Pertanggungjawaban Tahunan (LPT) Tahun 2020 Tertanggal 17 Desember 2020) sementara selama 16 tahun Tersangka Memimpin Pondok Pesantren tidak pernah diwajibkan untuk membuat  LPT pengurus Pondok Pesantren Al-Munawwaroh dan Bukti selajutnya berupa audit yang tidak benar yang menyebutkan kerugian/ Pengelapan senilai 4 Milyaran sedangkan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang telah di Periksa dalam Perkara tidak ada kerugian sebagaimana yang dimaksud semua Pertanyaan Penyidik telah dijawab berdasarkan bukti-bukti/ fakta-fakta yang dimiliki oleh Pemohon maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Pengelapan melakukan Tindak Pidaana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHPidana Jo Pasal 374 KUHPidana, keraguan tersangka didukung dengan fakta di lapangan pada waktu penyerahan surat panggilan di antar menggunakan mobil pelapor.
  • Bahwa Untuk Selanjutnya oleh Karena “ Entrance Point” Sebagaimana Di Maksud Belum Layak atau Terlalu Dini Untuk Di jadikan Alat Bukti Dalam Tindak Pidana  Yang di Duga Telah di lakukan Oleh Suami PEMOHON ,Mohon Dengan segala kerendahan Hati agar yang Mulia  Menyatakan Alat Bukti Tersebut Tidak SAH Karena Cacat HukumOleh Sebab PREMATURE ,Sehingga  Selanjutnya Segala Proses hukum yang di Buat Berdasarkan Dasar danBukti Yang Cacat HukumAgar Pula di NyatakanTIDAK SAH Oleh karena Cacat Hukum Pula Bahwa selanjutnyatentang ketidak AbsahanSebagai Alat Bukti Permulaan dalam tindak pidana yang di sangkakan kepada Suami PEMOHON.
  • Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang dilakukan tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

 

B.   PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN

  • Bahwa berdasarkan hasil Pemeriksaan dari saksi-saksi tidak dapat dibuktikan bahwa Pemohon memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain berdasarkan Fakta dan keterangan saksi-saksi tidak ada Pemohon melakukan untuk memiliki barang sesuatu sebagaimana unsur dari pasal 372 KUHPidana joPasal 374 bahkan bila dihitung dari barang Bangunan yang telah Pemohon bangun dari 0 (nol) yang sampai saat ini nilainya diperkirakan kurang lebih Rp. 21.161.600.000 (dua puluh satu milyar seratus enam puluh satu juta enam ratus ribu rupiah) sedangkan pendapatan yang dapat dihitung hanya senilai kurang lebih Rp 4.733.900.000 (empat milyar tujuh ratus tiga puluh tiga juta sembilan ratus ribu rupiah) semuanya sekarang dikuasai Pelapor dan dalam hal ini Pemohon telah mengajukan gugatan Perdata di Pengadilan Bangko.
  • Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHPidana Jo Pasal 374 KUHPidana karena Pemohon dapat dibuktikan memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain.
  • Bahwa dalam hal ini Pemohon telah mengajukan Gugatan Perdata Nomor : 27/Pdt.G/2021/PN BKO berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 dalam pasal dinyatakan  “Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”

 

3. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA/ DILAKUKAN PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

  • Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosenceatau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
  • Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
  • Bahwa menurut Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.
  • Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampur adukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
  • Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

  • Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
  • “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
  • Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
  • Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Bangko yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

III. PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis di atas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangko yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

  • Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
  • Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan tindak Pidana Pertama Barang siapa melakukan perbutan Pidana,  tindak Pidana Pengelapan dimaksud dalam Pasal 372 KUHPidana Jo Pasal 374 KUHPidana adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  • Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
  • Menyatakan tidak sah Penahanan yang dilakukan Polres Merangin
  • Memerintahkan untuk megeluarkan saudara SOFWAN Bin Marsyad di rumah tahanan Polres Merangin seketika tanpa syarat.
  • Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  • Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  • Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

 

PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangko yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangko yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya